Selasa, 16 April 2019

ZIARAH KE MAKAM PRESIDEN SUHARTO UNTUK YANG KE DUA KALI

Pada 8 Juni 1921, Soeharto dilahirkan oleh ibunya, bernama Sukirah di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono.


Dalam otobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang disusun G. Dwipayana, Sukirah digambarkan oleh Soeharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan masalah-masalah rumah tangga. Namun, banyak catatan di buku-buku sejarah Soeharto lain yang banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami problem mental yang sangat sulit.Sebelum Soeharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus menghadapi talak cerai suaminya, Kertosudiro.

Kertosudiro, seorang mantri ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah Soeharto, tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Soeharto. Bahkan, banyak pengamat Soeharto, seperti R.E. Elson, beberapa biografer dan orang dekatnya, termasuk Mantan Menteri Penerangan yang dekat dengan Soeharto, Mashuri, meyakini bahwa Kertosudiro bukanlah ayah kandung Soeharto. Pada tahun 1974, pernah muncul pemberitaan yang menghebohkan dari majalah gosip bernama ‘POP’ dengan liputan yang menurunkan kisah lama yang beredar bahwa Soeharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan dari trah Hamengkubowono II. Soeharto kecil yang berumur 6 tahun dibuang ke desa dan diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian dibantah keras oleh Soeharto. Dengan separuh murka, Soeharto mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai asal usul dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan subversif. Soeharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah anak desa.

Ketidakjelasan asal usul Soeharto secara genealogi sampai sekarang masih belum terpecahkan. Namun, dari semua itu, bayi Soeharto berada di dunia dengan kondisi keluarga yang kurang menguntungkan. Sukirah yang tertekan dan senang bertapa pernah ditemukan hampir mati di suatu tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan minum selama 40 hari) di suatu tempat yang tersembunyi, dan hilangnya sempat pernah membuat panik penduduk desa Kemusuk sehingga para penduduk mencarinya. Sadar dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan pengurusan bayi Soeharto kepada kakak perempuan Kertosudiro.

Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo. Soeharto menikah dengan Raden Ayu Siti Hartinah, anak KRMT Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang Wedana di Solo. Perkawinan Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto dengan Siti Hartinah (yang kemudian dikenal dengan Tien Soeharto) dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo. Ketika itu, usia Soeharto 26 tahun, sedangkan Siti Hartinah berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia enam putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi (Titiek) , Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).

Soeharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda, ia disekolahkan oleh Kertosudiro.Tidak ada berita-berita mengenai masa Soeharto di Sekolah Rakyat(setingkat SD). Kesan Soeharto pada masa SD itu hanya pada ingatannya tentang kerbau-kerbaunya. Dunia Soeharto hanya berkutat pada penggembalaan kerbau, jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak SD. Hal ini berbeda misalnya dengan cerita Soekarno sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir yang sejak kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens.
 

Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono, pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.

Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di langgar bersama teman-temannya, bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono. Hardjowijono adalah teman ayahnya yang merupakan pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.

Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk, untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).

Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, tetapi gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta berhenti.

Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.

MONUMEN PETA KOTA BLITAR

Monumen PETA, merupakan monumen yang dibangun untuk memperingati kejadian bersejarah yang terjadi pada tahun 1945, dimana saat itu Kota Blitar merupakan pusat terjadinya pemberontakan tentara PETA melawan tentara Jepang yang dipimpin oleh Soedanco Soepriyadi.

Untuk menghormatinya di bangun sebuah Monumen yang terletak di depan bekas markas PETA, tepatnya di Jl. Soedanco Soepriyadi. Monumen ini berbentuk sebuah patung yang mengangkat tangan kanannya, sebagai symbol bahwa dia tidak pernah menyerah untuk berjuang. Patung tersebut terlihat memakai seragam tentara Jepang, lengkap dengan topinya. Monumen ini ditujukan untuk mengenang pahlawan yang gugu dalam pertempuran tersebut agar dapat menyemangati para generasi muda dalam melanjutkan perjuangan Indonesia menjadi Negara yang besar.
Monumen ini sempat mengalami pemugaran dan kemudian diresmikan ulang pada tanggal 14 Februari 2008 yang bertepatan pada hari peringatan Pemberontakan PETA di Blitar.


Monumen POTLOT inilah bukti keberanian pemuda pemuda yang tergabung dalam Tentara PETA Blitar. Monumen ini terletak di kawasan Taman Makam Pahlawan Raden Wijaya Kota Blitar, lebih tepatnya di belakang makam pahlawan tersebut. Monumen POTLOT selain sebagai saksi keberanian para pemuda blitar juga termasuk tempat pertamakali dikibarkanya bendera Sangsaka Merah Putih pada tanggal 14 Februari 1945. pengibaran ini terjadi pada peristiwa pemberontakan Tentara PETA terhadap Jepang yang di pimpin Shudancho Suprijadi sekitar pukul 03.00 wib, dini hari. seorang algojo berani nekat mengibarkan Sangsaka Merah Putih tersebut adalah Parto Hardjono.



Peristiwa pada masa peresmian Monument Potlot atau monument perjuangan tentara Peta di Kota Blitar pada tahun 1946 satu tahun setelah Indonesia merdeka. Peresmian tersebut langsung di resmikan oleh bapak TNI Jendral Soedirman. Terlihat Jendral Soedirman meletakan serangkaian bunga untuk menandakan monument telah di resmikan sebagai monument perjuanagan nasional.

Suasana pada saat itu sangat ramai seperti yang terlihat pada gambar. Tidak hanya Jendral Soedirman, banyak dari tentara tentara, polisi polisi, serta pegawai pegawai negeri sipil yang ada di Indonesia ikut menghadiri upacara peresmian Monumen Potlot tersebut.Selain itu banyak warga Kota Blitar yang juga antusias menyaksikan peristiwa penting tersebut serta melakukan renungan untuk para pahlawan Indonesia.


Monumen PETA, merupakan monumen yang dibangun untuk memperingati kejadian bersejarah yang terjadi pada tahun 1945, dimana saat itu Kota Blitar merupakan pusat terjadinya pemberontakan tentara PETA melawan tentara Jepang yang dipimpin oleh Soedanco Soepriyadi.

Untuk menghormatinya di bangun sebuah Monumen yang terletak di depan bekas markas PETA, tepatnya di Jl. Soedanco Soepriyadi. Monumen ini berbentuk sebuah patung yang mengangkat tangan kanannya, sebagai symbol bahwa dia tidak pernah menyerah untuk berjuang. Patung tersebut terlihat memakai seragam tentara Jepang, lengkap dengan topinya. Monumen ini ditujukan untuk mengenang pahlawan yang gugu dalam pertempuran tersebut agar dapat menyemangati para generasi muda dalam melanjutkan perjuangan Indonesia menjadi Negara yang besar.


Monumen ini sempat mengalami pemugaran dan kemudian diresmikan ulang pada tanggal 14 Februari 2008 yang bertepatan pada hari peringatan Pemberontakan PETA di Blitar.

Monumen PETA terletak di Jl. Sudanco Supriyadi, Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sananwetan, Blitar. Sebagai salah kota yang memiliki sejarah perjuangan di masa Penjajahan, Blitar memiliki beberapa perninggalan bersejarah yang patut dikunjungi, baik untuk rekreasi keluarga atau sebagai situs edukasi bersejarah.


Monumen PETA ini menjadi tugu peringatan saat terjadinya pemberontakan PETA Blitar melawan penjajah Jepang, di bawah pimpinan Soeprijadi. Monumen ini dibangun pada 14 Februari 1988, tanggal dan bulan yang sama saat terjadinya pergerakan pertama di tahun 1945.

yang memberontak bukan hanya Sodancho Soepriadi. Tetapi putra Blitar tersebut didukung oleh 6 tokoh yang lain, yaitu : Chudancho dr Soeryo Ismail, Shodancho Soeparjono, Budancho Soedarmo, Shodancho Moeradi, Budancho Halir Mangkoe Dijaya, dan Budancho Soenanto. Berangkat dari kesadaran bahwa keenam pejuang PETA tersebut juga bahu-membahu bersama Sodancho Soepriadi melawan Jepang, maka Pemerintah Kota Blitar ingin menempatkan mereka sebagaimana layaknya para pejuang. Cara yang dipilih adalah, dengan membangun patung keenam tokoh tersebut, satu area di kompleks Monumen PETA. Tanpa mengesampingkan peran sentral tokoh Sodancho Soepriadi sebagai pemimpin pemberontakan, maka keenam patung tokoh tersebut, dibangun mengapit patung Sodancho Soepriadi yang lebih dulu dibangun. Posisinya, tiga patung di sisi timur dan tiga lainnya di sisi barat. Peletakan batu pertama yang menandai dibangunnya keenam patung pahlawan PETA tersebut, dilakukan oleh Walikota Blitar Drs H Djarot Syaiful Hidayat MS. 16 Agustus 2007. Dan monumen tersebut selesai dipugar dan diresmikan 14 Pebruari 2008 tepat pada hari peringatan Pemberontakan PETA Blitar.

Suasana monumen di tengah kota ini sangat nyaman, terdapat beberapa pohon dan area untuk bersantai, dan beberapa penjual makanan dan minuman untuk melepas penat saat bersantai di sekitar monumen. Diharapkan, dengan kerjasan pemerintah kota dan masyarakat sekitar, monumen ini bisa terjaga kelestarian dan kebersihannya

ZIARAH KE MAKAM HOS COKROAMINOTO DI YOGYAKARTA

Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (lahir di Jawa Timur, 16 Agustus 1883 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 51 tahun ( dalam Buku Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, karangan Drs. Mansur, MA. Penerbit Pustaka Pelajar, 2004; halaman 13)), lebih dikenal dengan nama H.O.S Cokroaminoto, merupakan salah satu pemimpin organisasi pertama di Indonesia, yaitu Sarekat Islam (SI).

Bakur, sebuah desa yang sunyi di daerah Madiun, pada tanggal 16 Agustus 1883 menjadi saksi lahirnya seorang anak kecil bernama Oemar Said Tjokroaminoto. Pada waktu yang bersamaan meletus lah Gunung Krakatau di Banten.

Menurut kepercayaan orang Jawa, meletusnya gunung berapi akan menimbulkan perubahan alam yang ada disekitarnya. Peristiwa ini nantinya dikaitkan dengan meledaknya tuntutan Tjokroaminoto kepada Belanda ketika ia menjadi pimpinan Sarekat Islam.

Kakek buyutnya adalah seorang ulama pemilik pondok pesantren di Desa Tegal Sari, Kabupaten Ponorogo yang menikahi seorang putri dari Susuhunan II. Karena pernikahan ini, ia menjadi keluarga Keraton Surakarta dan nantinya mendapat gelar kebangsawanan yaitu Raden Mas.
Sedangkan kakeknya adalah Raden Mas Adipati Tjokronegoro, berprofesi sebagai pegawai pemerintah. RM Tjokronegoro pernah menjadi Bupati di Ponorogo. Karena prestasi-prestasi yang ditorehkan ia pernah dianugerahi gelar Ridder der Nederlansche Leeuw dari pemerintah kolonial.

RM Tjokronegoro memiliki putra bernama Raden Mas Tjokroamiseno. Seperti ayahnya, Tjokoramiseno menekuni pekerjaan sebagai pegawai pemerintahan. Jabatan-jabatan penting pernah didudukinya seperti wedana di Kewedanan Kletjo, Madiun.

Tjokroamiseno mempunyai 12 orang anak yaitu :
  1. Raden Mas Oemar Djaman, seorang pensiunan Wedana
  2. Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto
  3. Raden Ayu Tjokrodisoedirjo, seorang istri almarhum mantan Bupati Purwokerto
  4. Raden Mas Poerwadi Tjokrosoedirjo, seorang bupati yang diperbantukan kepada Residen Bojonegoro.
  5. Raden Mas Oemar Sabib Tjokrosoeprodjo, seorang pensiunan Wedana yang kemudian masuk PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dan Masyumi yang kemudian meninggal di Madiun di zaman yang terkenal dengan isitlah ‘Madiun Affair’
  6. Raden Ajeng Adiati
  7. Raden Ayu Mamowinoto, seorang istri pensiunan pegawai tinggi
  8. Raden Mas Abikoesno Tjokrosoejono, seorang arsitek terkenal juga politikus ulung yang pernah menjadi ketua PSII dan sempat menjabat sebagai menteri di Kabinet Republik Indonesia.
  9. Raden Ajeng Istingatin
  10. Raden Mas Poerwoto
  11. Raden Ajeng Istidjah Tjokrosoedarmo seorang pegawai tinggi Kehutanan.
  12. Raden Ayu Istirah Mohamad Soebari, seorang pegawai tinggi Kementerian Perhubungan.
  13. Pendidikan HOS Tjokroaminoto
Semasa kecilnya, Tjokroaminoto sering berpindah-pindah (keluar-masuk) dari satu sekolah ke sekolah lainnya dikarenakan keberanian dan kenakalannya.
Seperti halnya anak seorang priyayi Jawa lainnya, ia mendapatkan pendidikan di sekolah milik pemerintah (Ambtenaar School) salah satunya OSVIA (Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Magelang dengan harapan setelah lulus menjadi pegawai pemerintahan.
Sedangkan pendidikan yang diterima di lingkungannya adalah berbasis agama sesuai latar belakang keluarga sejak kakek buyutnya.

Dibesarkan keluarga yang agamis membuat Tjokroaminoto tumbuh menjadi pribadi yang alim dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran Islam. Gelar ‘Haji’ yang disandangnya menjadi bukti betapa ia menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya.

Soeharsikin, seorang wanita keturunan priyayi (menurut asal-usulnya, ia keturunan Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir di Madiun) yang dikenal sebagai pribadi yang halus budi pekertinya, baik peringainya, dan cekatan menjadi istri Tjokroaminoto.
Sejak awal masa pernikahannya, keduanya sudah dihadapkan pada permasalahan yang cukup pelik. Permasalahan itu terjadi karena perbedaan paham antara Tjokroaminoto dan mertuanya.

Oleh mertuanya yang masih kolot dan cenderung elitis, Tjokroaminoto dipaksa untuk menjadi pegawai pemerintah yang sesungguhnya tidak sesuai dengan minatnya.
Selama tiga tahun ia mencoba menuruti kemauan mertuanya dimana ia bekerja sebagai pegawai pemerintahan (juru tulis patih) di Ngawi. Namun perbedaan paham itu dari hari ke hari semakin meruncing.
Dengan segala keberanian yang dimilikinya, ia pun memutuskan untuk pergi dari rumah mertuanya dimana saat itu Soeharsikin sedang mengandung anak pertamanya.

Akibatnya, Soeharsikin dipaksa oleh orang tuanya untuk menceraikan Tjokroaminoto karena dirasa telah mencoreng nama baik keluarganya.
Dalam kondisi yang serba dilema antara kedua pilihan, Soeharsikin akhirnya tetap memilih bersama suaminya. Hal ini membuat kedua orangtuanya tidak dapat berbuat apa-apa menerima keputusannya.
Ketika anak pertamanya telah lahir, Soeharisikin pernah mencoba untuk menyusul suaminya namun dapat dicegah oleh kedua orang tuanya.

Tahun 1905, ia sudah tidak lagi menjadi juru tulis patih dan merantau hingga ke kota Semarang. Untuk menyambung hidupnya, ia pernah menjadi kuli pelabuhan. Bekerja di sektor infomal membuatnya memiliki banyak interaksi dengan kaum buruh. Hingga akhirnya ia mempelopori berdirinya ‘sarekat kerja’ untuk mengangkat derajat kaum buruh.
Demi perkembangan hidupnya, HOS Tjokroaminoto melanjutkan perantaunya ke Surabaya. Di kota ini, ia bekerja di sebuah firma bernama Kooy & Co. Selain bekerja ia juga melanjutkan pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke Avond School) pada tahun 1907-1910 untuk mendalami ilmu perdagangan.
Setelah lulus dari sekola B.A.S, ia berheni dari pekerjaannya di firma itu dan beralih profesi menjadi Leerling Machinist selama satu tahun (1911-1912). Tidak lama juga, akhirnya ia pindah bekerja lagi di pabrik gula, Rogojampi Surabaya sebagai seorang chemiker.
Disamping bekerja di perusahan dan pabrik, ia juga tetap menyempatkan untuk mengembangkan minat di bidang jurnalistik. Ia masih sering mengirimkan karya tulisan di berbagai surat kabar yang ada di Surabaya. Karena kegigihannya itu, HOS Tjokroaminoto diangkat menjadi pembantu di surat kabar Suara Surabaya.

Setelah merasa cukup lama merantau, HOS Tjokroaminoto memutuskan untuk menetap di Surabaya dan membawa serta Soeharsikin dan anak-anaknya, berturut-turut : Siti Oetari, Oetarjo alias Anwar, Harsono alias Moestafa Kamil, Siti Islamijah dan Soejoet Ahmad.
Keluarga ini hidup dalam kesederhaan namun tetap harmonis. Soeharsikin menyadari betul kondisi yang dialami keluarganya. HOS Tjokroaminoto jarang berada di rumah.
Permasalahan itu membuatnya membantu meringankan kebutuhan keluarga dengan membuka rumahnya sebagai tempat kost para pelajar HBS, MULO, MTS di Surabaya.
Para pelajar yang pernah kost di rumah HOS Tjokroaminoto adalah Soekarno, Kartosuwiryo, sampoerno, dan Abikoesno, Alimin dan Moesso.

Pembukaan rumah kost ini juga memberikan pekerjaan bagi Mbok Tambeng, seorang emban yang bekerja untuk keluarga HOS Tjokroaminoto. Soekarno sangat terbantu dengan keberadaan mbok Tambeng seperti menjahit celananya dan menyiapkan gado-gado sebagai makanan kegemarannya.
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.

Bergelar De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota" oleh Belanda, Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di indonesia dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di Indonesia. Berangkat dari pemikirannya pula yang melahirkan berbagai macam ideologi bangsa Indonesia pada saat itu. Rumahnya sempat dijadikan rumah kost para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka pernah berguru padanya. Ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda. Setelah ia meninggal, lahirlah warna-warni pergerakan Indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya, yakni kaum sosialis/komunis yang dianut oleh Semaoen, Muso, Alimin. Soekarno yang nasionalis, dan S.M Kartosuwiryo yang Islam merangkap sebagai sekretaris pribadi. Namun, ketiga muridnya itu saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh kekuatan politik pada saat itu memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling berhadap-hadapan hingga terjadi Pemberontakan Madiun 1948yang dilakukan Partai Komunis Indonesiakarena memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" yang dipimpin Muso. Dengan terpaksa Presiden Soekarno mengirimkan pasukan elite TNI yakni Divisi Siliwangi yang mengakibatkan "abang", sapaan akrab Soekarno kepada Muso, pemimpin Partai komunis pada saat itu tertembak mati pada 31 Oktober 1948. dilanjutkan oleh Negara Islam Indonesia(NII) yang dipimpin oleh S.M Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati yang dijatuhkan oleh Soekarno kepada kawannya S.M Kartosuwiryo pada 12 September 1962. Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua.

Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan. Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, S.M Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.

Tjokro meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.
Sebuah film dengan judul Guru Bangsa: Tjokroaminoto telah dibuat dengan mengangkat sebagian kisah Oemar Said Tjokroaminoto. Film yang diproduksi pada tahun 2015, ini disutradarai oleh Garin Nugroho, dengan pemeran utama Reza Rahardian.
HOS Tjokroaminoto mengajarkan kepada anak kostnya bahwa melalui kedisplinan dan tekad perjuangan yang kuat sebuah perjuangan akan mencapai hasil yang diharapkan. Sikap kerasnya pada dasarnya masih dalam taraf sewajarnya.
Penanaman nilai-nilai religi dalam pendidikan juga diberikan oleh HOS Tjokroaminoto.
Karena ia merasa sangat penting dalam membentuk sikap dan sifat seorang anak agar sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Pendidikan agama juga digunakan untuk mengimbangi pendidikan barat anak-anak kostnya.

Media pendidikan yang digunakan HOS Tjokroaminoto adalah seni. Kesenian yang digemarinya adalah seni tari dan gamelan. Hanoman merupakan tokoh yang sering diperankan olehnya. Menurutnya Hanoman adalah simbol perlawanan terhadap penindasan.

Nilai-nilai nasionalisme dan sosialisme juga tidak luput untuk diajarkan kepada anak-anak kostnya. Menurutnya nasionalisme akan memberikan kesadaran kebangsaan kepada anak kostnya. Sedangkan sosialisme akan mengajarkan kemerdekaan sebagai seorang bangsa, persamaan derajat sebagai manusia, dan persaudaraan sebagai kesatuan umat.

Di Surabaya juga HOS Tjokroaminoto mulai aktif berorganisasi dan menjadi ketua perkumpulan Panti Harsoyo. Oleh M. Hasan Ali Surati (ketua perkumpulan Manikem), ia diperkenalkan dengan 4 orang pengurus Sarekat Dagang Islam (SDI) yang sedang meninjau kota Surabaya dalam keperluan perluasan cabang SDI. Kemudian HOS Tjokroaminoto tertarik untuk menjadi anggota SDI dan ia pun ditunjuk untuk mempimpin SDI cabang Surabaya.
Saat diadakannya kongres kedua SDI di Surabaya pada 26 Januari 1913 di Surabaya, KH Samanhudi menunjuk HOS Tjokroaminoto untuk menjadi wakil ketua SDI nasional dan menjadi redaktur pelaksana Oetoesan Hindia.

Sejak saat itu, KH Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto sering berdiskusi hingga pada suatu kesempatan HOS Tjokroaminoto mengusulkan perubahan nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI) dengan pertimbangan bahwa anggota SDI tidak terbatas pada kaum pedagang tetapi seluruh lapisan rakyat Hindia Belanda. Akhirnya usulan ini disetujui.
Masuknya kaum terpelajar (pendukung HOS Tjokroaminoto) sebagai anggota SI, membuat dukungan terhadapnya semakin kuat. Gaya kepemimpinannya dianggap lebih cocok untuk membawa SI menjadi organisasi yang lebih berpengaruh di Hindia Belanda daripada KH Samanhudi yang dinilai terlalu konservatif.

Puncak perselisihan antara pendukung HOS Tjokroaminoto dan pendukung KH Samanhudi adalah ketika kongres ketiga di Yogyakarta (April 1914). Dimana HOS Tjokroaminoto dipilih menjadi ketua SI oleh kongres menggantikan KH Samanhudi.
Untuk menghormati jasa KH Samanhudi, dibentuklah ketua kehormatan Central Sarekat Islam (CSI), suatu jabatan tanpa kekuasaan. Melalui lobi-lobi HOS Tjokroaminoto kepada pemerintah Hindia Belanda, afdeling-afdeling berubah menjadi SI lokal. Selain itu SI juga berhasil mendapatkan ijin untuk membentuk kepengurusan pusat yang dinamai Central Sarekat Islam (CSI).

HOS Tjokroaminoto mengubah konsep pergerakan SI dari pergerakan di bidang ekonomi menjadi organisasi pergerakan nasional yang berorientasi sosial politik dan beralihnya kepemimpinan dari kelompok borjuis pribumi ke kaum intelektual yang berpendidikan barat.
Dibantu oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis, HOS Tjokroaminoto berhasil membawa SI menjadi organisasi pergerakan pertama berskala nasional yang berhasil memiliki anggota sebanyak 2,5 juta orang. Mereka bertiga dikenal sebagai Tiga Serangkai-nya SI.

Semakin meluasnya pengaruh politik Etis, membuat SI mengajukan tuntutan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan parlemen. Tuntuan itu semakin bertambah besar dan kuat dari hari ke hari, sehingga memaksa pemerintah untuk mendirikan Dewan Rakyat atau Volksraad untuk meredam tuntutan itu. Bersama dengan Abdul Muis, HOS Tjokroaminoto duduk sebagai wakil SI di Volksraad dan memposisikan diri mereka sebagai oposisi dikarenakan jumlah pribumi di Volksraad hanya berjumlah 25 orang, sementara wakil Belanda 30 orang dan dari Asia Timur sebanyak 5 orang.
Pada awal masa kepemimpinannya di SI, pergerakannya belumlah terlalu radikal. Sikap radikal HOS Tjokroaminoto tumbuh seiring dengan semakin radikalnya kaum pergerakan pada waktu itu.
Ada dua hal yang menjadi alasan perubahan pergerakan itu. Pertama, Penangkapan dirinya atas dugaan keterlibatan kasus SI seksi B dan peristiwa Garut tahun 1919. Namun setelah 9 bulan ditahan HOS Tjokroaminoto dibebaskan karena tidak semua tuduhan itu tidak bisa dibuktikan oleh pemetintah Kolonial.

Kedua, setelah bebas HOS Tjokroaminoto mendapati SI sedang di ambang perpecahan. Hal ini disebabkan masuknya pengaruh komunis dalam tubuh SI. Oleh sebab itu muncul dua kelompok yang berseturu, SI putih yang diwakili oleh Agus Salim dan SI Merah yang dipimpin oleh Semaon.
Sebelumnya telah disinggung bahwa rumah Tjokroaminoto di Surabaya diibaratkan seperti meelting point atau tempat bertemunya berbagai ideologi yang sedang berkembang di masa pergerakan. Di dalam bertemunya ideologi juga ada diskusi dan pendidikan bagi para murid yang kos.
Pemikiran Sosialisme Islam Tjokroaminoto dipahami dan diintepretasikan berbeda-beda oleh para muridnya. Seperti Soekarno yang mengolahnya menjadi paham Nasionalis, Kartosuwiryo dengan Fundamentalis Islam, sedangkan Alimin dan Musso lebih memilih paham komunis.

Perseteruan Tjokroaminoto sebagai guru dengan muridnya paling awal adalah berhadapan dengan paham komunis yang dianut Alimin dan Musso.
Awalnya ia masih bersikap toleran kepada komunisme di dalam internal SI namun semakin kuatnya infiltrasi hingga terjadi perpecahan makn akhirnya ia pun harus mengambil sikap tegas terhadap komunisme.Pada kongres CSI di Madiun, diambillah keputusan untuk meningkatakan kualitas perjuangan dari sarekat menjadi partai. Hal ini juga dirasa penting karena SI dikenal sebagai pelopor dalam pergerakan Indonesia pada waktu itu maka status itu perlu untuk dipertahakan.
Langkah ini diambil juga untuk mempersiapakan SI dalam menghadapi pemerintah kolonial dan PKI yang sedang berkembang menjadi satu kekuatan pergerakan Indonesia yang mengimbangi SI.
PKI sendiri mengalami kegagalan dalam pergerakan sekitar tahun 1926-1927. Kegagalan itu disebabkan pemberontakan yang tidak terorganisir dan terpisah-pisah. Hal ini membuat pemerintah kolonial memiliki alasan kuat untuk membubarkan PKI.

Hilangnya kekuatan PKI dalam masa pergerakan menjadi suatu momentum untuk kelahiran paham nasionalis (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno sebagai salah satu alternatif. Ia mulai menggantikan Tjokroaminoto dan PKI sebagai bintang pergerakan.
Awalnya baik Tjokroaminoto dan Soekarno sepakat untuk berjuang bersama untuk Kemerdekaan Indonesia. Hal ini ditandai dengan dibentuknya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) pada 17-18 Desember 1927.
Federasi ini terdiri dari organisasi politik baik yang mengusung konsep kooperasi maupun nonkooperasi seperti PNI, PSI, Boedi Oetomo, Pasundan, Sarekat Sumatera, Kaum Betawi, Indonesische Studie Club, Sarekat Madura, Perserikatan Brebes, dan Tirtajasa Banten.
Namun dalam perkembangannya terjadi ketidakharmonisan antara Tjokroaminoto dan Soekarno. Golongan Nasionalis terus menyerang PSI. Soekarno menyindir Pan Islamisme milik PSI yang dianggapnya terlalu mengharapkan bantuan dari pihak pemerintah.

Tjokroaminoto paham betul jika popularitas PSI sedang digantikan oleh PNI. Dalam berbagai kongres PSI, ia menghimbau anggotanya untuk tidak meninggalkan PSI kemudian bergabung dengan PNI dan mengingatkan jika nasionalisme juga cinta tanah air jangan hanya diidentikkan dengan PNI saja. Pada kongres yang ke XIV di Jakrta pada Januari 1929 diputuskan perubahan nama PSI menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), meski landasan perjuangannya tetap Islam.
Akhir Perjuangan Hidup HOS Tjokroaminoto

Sepulang dari Sulawesi pada akhir 1933, kesehatan Tjokroaminoto mulai menurun. Pada saat itu ia sudah mulai sakit-sakitan. Namun ia tetap memaksakaan untuk bekerja.
Rekan-rekan seperjuangannya telah berusaha menasehati dirinya untuk berisitirahat lebih banyak hingga kesehatannya kembali membaik. Namun ia lebih memilih untuk tetap melanjutkan perjuangannya mempimpin PSII.

Hal ini dibuktikan dengan kehadiran dirinya pada konferensi wilayah PSII Jawa Timur pada tnggal 30 September – 2 September 1934 di Pare.
Akhirnya pada tanggal 17 Desember 1934 HOS Tjokroaminoto mengehembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan di Kuntjen, Yogyakarta.
Rasa duka cita yang begitu mendalam dirasakan oleh petinggi PSSI seperti Agoes Salim, Kartosoewiryo, Wondoamiseno, Sangadji, dan lainnya atas wafatnya HOS Tjokroaminoto.

Puteri sulungnya, Oetari Tjokroaminoto terkejut ketika dirinya mendapat ucapan bela sungkawa dari Soekarno. Karena dirinya tidak menyangka Soekarno akan menghubunginya kembali.
Ucapan belasungkawa juga datang dari Umat Islma yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia Raya di Mesir. Untuk mengenang jasa-jasa yang telah diberikan olehnya, berdasarkan SK. Presiden RI No. 590 / 1961, HOS Tjokroaminoto diangkat menjadi pahlawan nasional.




Sumber Artikel :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/18015/Chapter%20II.pdf?sequence=3
Rintahani Johan Pradana. Strategi Pendidikan Tjokroaminoto Dalam Rumah Kost Soeharsikin Surabaya (1912-1922)


Sumber Gambar :

KISAH DUSUN KEMUSUK DIMANA PRESIDEN H.M.SOEHARTO DI LAHIRKAN

NDALEM KALITAN KOTA SOLO

Terispirasi dengan sosok ibu Negara Tien soeharto membuat saya terniang dengan masa lalu ketika masa orde baru, perjalanan saya kali ini akan bertandang ke kota solo.
Dimulai dengan cerita beberapa hari sebelumnya saya sudah menyiapkan segala sesuatunya dari mulai tiket kereta sancaka dari jombang turun di stasiun solo balapan hingga penginapan lumayan murah yang saya boking lewat online sampai rute mana saja yang mau saya kunjungi.
Dalem Kalitan merupakan rumah peninggalan Sunan Paku Buwono X yang pada tahun 1874 diberikan kepada putri sulungnya, Kanjeng Gusti Ratu Alit. Karena itulah, rumah tersebut dikenal dengan nama Kalitan. Sejak 1960an, rumah tersebut dibeli dan menjadi kediaman turun-temurun dari Prawironegoro yang merupakan saudara dari Kanjeng Pangeran Sumoharyono, orangtua Tien Soeharto, istri Presiden Kedua Indonesia, Soeharto.

 Orangtua Tien Soeharto masih kerabat dari Keraton Mangkunegaran. Mereka adalah KPH Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti Hatmohoedojo.
Hari Minggu 28 April 1996 sekitar pukul 05.10 WIB, Indonesia berkabung. Ibu Tien meninggal di RSPAD Gatot Subroto, Bermula ketika Ibu Tien Tien mengunjungi sentra pembibitan buah di Taman Buah Mekarsari. Sedangkan Seoharto, pada saat itu, Sabtu, 27 April 1996, berada dalam perjalanan pulang dari kawasan perairan sebelah barat Anyer, Jawa Barat, setelah memancing bersama rombongan.

Soeharto berangkat memancing, Jumat, 26 April 1996. Tak seperti biasanya, hanya dua ekor ikan dapat ditangkap. "Ini kok tidak seperti biasanya," celetuk Soeharto saat itu. Sore hari, cuaca mendadak semakin tidak bersahabat, sehingga Soeharto dibawa ke kapal TNI AL yang lebih besar.
Karena gelombang makin besar dan angin berembus kencang, dengan alasan keselamatan, semua tamu penting pindah ke kapal AL. Setelah badai reda, pagi harinya Soeharto kembali ke Jakarta. Ketika Soeharto bertemu Ibu Tien pada Sabtu sore, suasana berlangsung seperti biasa. Hanya saja, Ibu Tien Tien harus banyak beristirahat karena kelelahan. Sekitar pukul 04.00, Ibu Tien Tien mendapat serangan jantung mendadak.

Ibu Negara tersebut tampak sulit bernafas. Dalam kondisi genting segera diputuskan membawa Ibu Tien ke RSPAD Gatot Soebroto, tempat beliau sebelumnya beberapa kali menjalani pemeriksaan.
Dokter kepresidenan, Hari Sabardi, memberi bantuan alat pernafasan. Saat itu, selain Soeharto, Tommy dan Sigit Hardjojudanto ikut mendampingi Ibu Tien.
Pada saat-saat terakhir itu Pak Harto mendapingi Ibu Tien di rumah sakit. Soeharto, nampak dirundung kesedihan mendalam. Bagaimana tidak, Ibu Tien adalah sosok yang mendampingi Soeharto selama puluhan tahun.
 Kejadian aneh saat Soeharto memancing di perairan sebelah barat Anyer baru disadari Soeharto sebagai firasat setelah beberapa hari meninggalnya Ibu Tien Tien Soeharto
Ibu Tien meninggal dunia pada Minggu, 28 April 1996, jam 05.10 WIB pada usia 72 tahun. Soeharto sangat merasa terpukul atas kematian Ibu Tien.
Ibu Tien dimakamkan di Astana Giri Bangun, Jawa Tengah, pada 29 April 1996 sekitar pukul 14.30 WIB. Upacara pemakaman tersebut dipimpin oleh inspektur upacara yaitu Ketua DPR/MPR saat itu, Wahono dan Komandan upacara Kolonel Inf G. Manurung, Komandan Brigif 6 Kostrad saat itu.

Sedangkan sebelumnya saat pelepasan almarhumah, bertindak sebagai inspektur upacara, Letjen TNI (Purn) Ahmad Taher dan Komandan Upacara Kolonel Inf Sriyanto, Komandan Grup 2 Kopassus Kartasura zaman itu. Setelah kedua orangtua Tien Soeharto wafat, dalem Kalitan difungsikan sebagai tempat berkumpul keluarga. Pohon beringin yang berusia puluhan tahun di halaman depan menambah nuansa sejuk kediaman itu. Halaman depan tersebut juga sering dimanfaatkan masyarakat untuk beraktifitas, tak terkecuali untuk berjualan.

 Bagi masyarakat yang ingin bertandang ke ndalem kalitan, diwajibkan absen dan meninggalkan kartu identitas di kantor penjagaan yang berlokasi di sebelah kanan pintu masuk. Setelahnya, pengunjung bisa menikmati bagian demi bagian Dalem Kalitan. Dalem Kalitan terdiri dari tiga bagian. Yaitu pendopo, ruang tengah atau pringgitan dan senthong (ruang tidur). Pertama, bagian pendopo yang terbuka di keempat sisinya ditopang empat saka guru dan tiang-tiang pendukung lainnya. Di ujung pendopo terdapat pintu masuk kayu jati berukir elok dengan empat daun pintu, yang diapit foto Soeharto di sebelah kanan dan Tien Soeharto di sebelah kiri. Sementara di tembok samping kanan juga terpasang foto keduanya yang didampingi 5 anak dan 4 menantu. Sedangkan di samping kiri terdapat seperangkat gamelan jawa, yang tertutup rapi dengan kain hijau.

Pendopo ini kerap menjadi lokasi kegiatan-kegiatan yang digelar Keluarga Soeharto. Bergeser ke ruang di belakang pendopo, ruang tengah, pengunjung dapat menyaksikan sejumlah benda koleksi, penghargaan, dan kenang-kenangan dari berbagai pihak untuk Presiden Soeharto, maupun sang istri. Terdapat pula sertifikat gelar pahlawan untuk Tien Soeharto yang dibingkai dan ditempelkan di dinding.

Beberapa hari setelah Ibu Tien Tien Soeharto meninggal dunia, Minggu, 28 April 1996, sekitar pukul 05.10 WIB, beredar isu di masyarakat yang menyebut the first lady tersebut karena dua anak lelakinya bertengkar memprebutkan proyek mobil nasional.
Bambang Trihatmojo dan Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) dkabarkan terlibat baku tembak. "Sebuah tembakan diisukan mengenai Ibu Tien. Itu adalah rumor dan cerita yang sangat kejam serta tidak benar sama sekali," ujar Jenderal Polisi Purn Sutanto, mantan ajudan Presiden Soeharto 1995-1998, dalam buku Pak Harto The Untold Stories, terbitan Gramedia Pustaka Utama.

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tersebut merupakan saksi hidup detik-detik meninggalnya Ibu Tien Tien Soeharto. "Saya saksi hidup yang melihat Ibu Tien terkena serangan jantung medadak, membawanya ke mobil, dan terus menunggu di luar ruangan saat tim dokter RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) melakukan upaya medis," kata Sutanto.

Saat ini kondisi Dalem Kalitan masih sangat terawat. Sama seperti Astana Giribangun, tempat ini juga sering dikunjungi warga dari berbagai daerah di nusantara. Selain karena sejarahnya, dalem Kalitan memiliki sejumlah pohon langka di antaranya, sawo kecik dan kepel. Menurut salah seorang penjaga Dalem Kalitan, putra-putri Soeharto masih menyempatkan singgah saat akan ziarah ke Astana Giribangun. Namun yang paling sering adalah Mamiek Soeharto yang kerap menginap.


http://pariwisatasolo.surakarta.go.id/wisata/dalem-kalitan-peninggalan-sunan-paku-buwono-x