Sabtu, 20 April 2019

ZIARAH KE MAKAM KI HAJAR DEWANTORO DI YOGYAKARTA

Ki Hajar Dewantara adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.

Ki Hajar Dewantara merupakan tokoh nasional dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nama aslinya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia lahir di Pakualaman dan cucu dari Pakualam III. Soewardi dia juga membawa kesenian keraton ke luar wilayah kerajaan dan bisa dimainkan oleh rakyat biasa, salah satunya Tari Golek.

Nama Lengkap Raden Mas Soewardi Soerjaningrat Populer dengan sebutan Ki Hajar Dewantara
menganut agama Islam tempat Lahir Yogyakarta Kamis 2 Mei 1889 Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai dengan perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsa
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan Ki Hajar Dewantara dalam bahasa Jawa berbunyi :

Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi contoh)
Ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat)
Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan)

Semboyan tersebut masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Taman Siswa.

Ia dikenal sebagai seorang penulis, jurnalis, tokoh politik dan pelopor pendidikan bagi bangsa Indonesia saat zaman penjajahan Belanda. Ki Hajar Dewantara adalah pendiri taman siswa, lembaga pendidikan yang memberi kesempatan bagi rakyat pribumi untuk memperoleh pendidikan. Ia kemudian diangkat menjadi Menteri Pendidikan Republik Indonesia yang pertama. Ki Hajar Dewantara kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional dengan gelar Bapak Pendidikan Nasional.

Tanggal lahirnya, 2 Mei, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Ki Hajar Dewantara sendiri meninggal pada 26 April 1959 di usia yang ke 69 tahun. Salah satu semboyan yang ia buat, Tut Wuri Handayani, kemudian menjadi slogan Kemetrian Pendidikan Nasional Indonesia.

Ia menamatkan Sekolah Dasar pendidikan ELS (Europeesche Lagere School) dan Setelah itu, sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) namun tidak sampai tamat dikarenakan sakit. Pekerjaannya Jurnalis karir Pendiri perguruan Taman Siswa warga Negara Indonesia mempunyai istri namanya Nyi Sutartinah

Kemudian Ki Hajar Dewantara bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, diantaranya De Express, Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Poesara, Tjahaja Timoer dan Sedyotomo.
Pada eranya, ia termasuk penulis fenomenal. Tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara sangat komunikatif namun juga tajam dan patriotik, sehingga mampu membangkitkan semangat anti-kolonial bagi pembacanya.

Kemudian, bersama dengan Dr. Danudirdja Setyabudhi atau yang lebih dikenal Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme di Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia.


Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini demi memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Namun pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg mencoba menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913.

Alasan penolakan tersebut ialah karena organisasi ini dianggap dapat menumbuhkan dan membangkitkan rasa nasionalisme rakyat serta menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Lantas setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij Ki Hajar Dewantara pun
ikut membentuk Komite Boemipoetra pada bulan November 1913. Komite ini sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.
Komite Boemipoetra melancarkan kritik kepada Pemerintah kolonial Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Jejak-jejak peninggalan Ki Hajar Dewantara terekam dengan rapi di Museum Dewantara Kirti Griya yang berlokasi di Jalan Taman Siswa Yogyakarta. Di tempat ini, tokoh pelopor pendidikan rakyat Raden Mas Suwardi Suryaningrat menghabiskan waktu bersama istri.

Museum yang diresmikan Nyi Hadjar pada 2 Mei 1970 diberi nama sesuai fungsinya semula. Kirti berarti kerja dan griya bermakna rumah. Bangunan yang luasnya tidak lebih dari 500 meter persegi itu bukan hanya tempat tinggal keluarga Ki Hajar Dewantara, melainkan juga tempatnya berkarya.

Ki Hadjar Dewantara merupakan orang yang sangat perhatian dan peduli dengan keluarganya. Hal ini tampak dari dua kamar yang pernah ditempati beliau semasa hidup.

Kamar pertama merupakan ruang kerjanya dengan mesin ketik kuno yang menghasilkan suara keras ketika dioperasikan. Letaknya berada di depan. Sementara, kamar lainnya, agak di belakang, merupakan tempat tidur bersama dengan sang istri.
Ki Hajar tidak ingin istrinya terganggu dengan suara mesin ketik ketika ia harus bekerja. Demikian pula dengan sang anak yang menempati kamar di sebelah kamar tidurnya dengan sang istri.

Museum ini menyimpan baju penjara milik Ki Hajar. Baju berwarna cokelat pudar itu terbuat dari bahan menyerupai goni dan disimpan di dalam lemari kaca. saat bekerja sebagai penulis, Ki Hajar Dewantara tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial dan kebangsaan.Ki Hadjar meyakini seni sebagai ujung tombak pendidikan. Ia menghasilkan tembang dolanan anak dari piano yang tersimpan di ruang tengah museum. Dia juga memajang lukisan Affandi di dinding kamar tidur anaknya. bahkan, maestro lukis itu juga menjadi salah satu pamong di perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hadjar.


Ki Hajar Dewantara punya peran penting dalam membangun pendidikan di Indonesia.

Beliau melepas gelar kebangsawanannya dan mengganti namanya pada usia 40 tahun. Ki Hadjar ingin menyatu dengan orang kebanyakan, Ia memilih nama Ki Hadjar Dewantara yang berasal dari kata hadjar berarti guru dan Dewa Antara yang bermakna penghubung Bumi dan dunia yang lebih tinggi.

Selain gigih sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, Ki Hajar Dewantara aktif di seksi propaganda organisasi Boedi Oetomo untuk bersosialisasi dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Ki Hajar Dewantara juga dikenal aktif dalam berorganisasi baik di bidang sosial atau politik. Ia aktif melakukan sosialisasi mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara, terutama setelah berdirinya Boedi Oetomo (BO) di tahun 1908.

Ia juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda.
Ki Hajar Dewantara sempat mempublikasikan tulisan berjudul 'Seandainya Aku Seorang Belanda' atau judul aslinya 'Als ik een Nederlander was'. Dalam tulisan itu Ki Hajar mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang berniat merayakan kemerdekaan Belanda dari Prancis di tanah jajahannya sendiri yaitu Indonesia.

Sehubungan dengan rencana perayaan tersebut, Ki Hajar Dewantara mengkritik lewat tulisannya yang berjudul Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) dan Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda).

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Selaras dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, namun juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Gagasan untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama adalah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.

 Tulisan “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang dimuat dalam surat kabar de Expres yang dimotori dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

Pada eranya, ia termasuk penulis fenomenal. Tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara sangat komunikatif namun juga tajam dan patriotik, sehingga mampu membangkitkan semangat anti-kolonial bagi pembacanya.

Selain gigih sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, Ki Hajar Dewantara aktif di seksi propaganda organisasi Boedi Oetomo untuk bersosialisasi dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Akibat tulisan tersebut, Ki Hajar Dewantara bersama dua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ditangkap dan diasingkan ke Belanda pada tahun 1913. Ketiganya kemudian dikenal sebagai tokoh 'Tiga Serangkai'.

Kemudian, bersama dengan Dr. Danudirdja Setyabudhi atau yang lebih dikenal Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme di Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia .

Cipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker merasakan kawan seperjuangannya diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Raden Mas Soewardi.
Akan tetapi pihak kolonial menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah Belanda. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Dr. Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda dan dr. Douwes Dekker dibuang di Kupang.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda sebab di sana mereka bisa mempelajari banyak hal dari pada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diizinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Dalam pengasingan di Belanda, Ki Hajar Dewantara aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia bernama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Ia bahkan mendirikan Indonesisch Pers-bureau atau kantor berita Indonesia pada tahun 1913. Berdasarkan sejarah, nama tersebut merupakan penggunama istilah 'Indonesia' yang pertama kali secara formal.
Ki Hajar menempuh pendidikan tinggi hingga memperoleh Europeesche Akta, ijazah pendidikan bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Ki Hajar juga mempelajari berbagai ide dari tokoh pendidikan dari barat dan India yang menjadi landasan dalam mengembangkan sistem pendidikan Indonesia.

Tahun 1919, Ki Hajar kembali ke Indonesia dan bergabung dalam sekolah binaan saudaranya, bersama dengan rekan-rekan seperjuangannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada 3 Juli 1922.

Perguruan ini sangat menekankan pendidikan mengenai pentingnya rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan.
Tidak sedikit aral rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berusaha membatasi dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Namun dengan keteguhan memperjuangkan haknya, akhirnya ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya dalam dunia pendidikan di Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara juga tetap rajin menulis. Tetapi tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Karya tulisannya berjumlah ratusan. Melalui tulisan-tulisan itulah ia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar Dewantara duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Pada eranya, ia termasuk penulis fenomenal. Tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara sangat komunikatif namun juga tajam dan patriotik, sehingga mampu membangkitkan semangat anti-kolonial bagi pembacanya. Selain gigih sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, Ki Hajar Dewantara aktif di seksi propaganda organisasi Boedi Oetomo untuk bersosialisasi dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Kemudian, bersama dengan Dr. Danudirdja Setyabudhi atau yang lebih dikenal Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme di Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia .Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini demi memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Namun pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg mencoba menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakan tersebut ialah karena organisasi ini dianggap dapat menumbuhkan dan membangkitkan rasa nasionalisme rakyat serta menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Lantas setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij Ki Hajar Dewantara pun ikut membentuk Komite Boemipoetra pada bulan November 1913. Komite ini sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.Komite Boemipoetra melancarkan kritik kepada Pemerintah kolonial Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Kesempatan itu dimanfaatkan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Ki Hajar Dewantara berhasil memperoleh Europeesche Akte.Setelah itu, ia kembali ke Indonesia di tahun 1918. Di tanah air ia memusatkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan menyongsong kemerdekaan

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar Dewantara duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.


Bapak Pendidikan Nasional

Nama Ki Hajar Dewantara sendiri bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, namun juga ditetapkan sebagai pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Penghargaan lain yang diterimanya ialah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan sekaligus dimakamkan di sana. Kemudian untuk mengingat jasanya, pihak penerus perguruan Taman Siswa mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya,Yogyakarta.

Selain dari tujuan awalnya sebagai pengingat jasa Ki Hajar Dewantara, tujuan museum ini untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan beliau. Dalam museum ini juga terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hajar Dewantara sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Koleksi museum ini berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hajar Dewantara sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah diabadikan dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Bangsa ini perlu mewarisi buah gagasannya mengenai tujuan pendidikan, yakni memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, adat, budaya, etnis, suku, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan lain sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang berasas Pancasila.


Ki Hajar Dewantara Sebagai Bapak Pendidikan Nasional

Usai Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) dalam kabinet pertama Republik Indonesia. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, Ki Hajar Dewantara dianugerahi gelar Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Hari kelahiran Ki Hajar Dewantara pada tanggal 2 Mei dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Ki Hajar kemudian meninggal dunia di kota Yogyakarta pada tanggal 26 April 1959. Ia dimakamkan di Taman Wijaya Brata.

Jumat, 19 April 2019

JENDRAL SUDIRMAN DAN KOTA ASAL KELAHIRANNYA

Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga, Hindia Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo. Menurut catatan keluarga, Soedirman –dinamai oleh pamannya –lahir pada Minggu pon di bulan Maulud dalam penanggalan Jawa; pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari 1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan Cokrosunaryo yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar Raden, gelar kebangsawanan pada suku Jawa. Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia berusia 18 tahun. Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar. Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.
Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata krama priyayi, serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik, atau rakyat jelata.Untuk pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan Kyai Haji Qahar; Soedirman adalah anak yang taat agama dan selalu shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk mengumandangkan adzan dan iqamat.Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah pribumi (hollandsch inlandsche school). Meskipun hidup berkecukupan, keluarga Soedirman bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin jahit Singer.


Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah;[d] permintaan ini awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada tahun ketujuh sekolah. Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui tidak terdaftar.Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia, yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda. Soedirman belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua pada saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah dalam pelajaran kaligrafi Jawa, Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia Soedirman juga menjadi semakin taat agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman juga memberikan ceramah agama kepada siswa lain. Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah dan bergabung dengan tim sepak bola sebagai bek. Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh miskin, namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus pada akhir tahun.

 

Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mempelajari Sunnah dan doa. Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktik di Wirotomo.

Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub drama, dan kelompok musik. Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah. Soedirman menjadi pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo; tugasnya adalah menentukan dan merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya pendidikan agama, bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di seluruh Jawa. Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan tentang sejarah Islam dan pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia berlakukan disiplin militer.

Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-kilometer (62 mi) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Surat kabar harian Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, menulis bahwa Indonesia telah kehilangan seorang "pahlawan yang jujur dan pemberani."Kolonel Paku Alam VIII, yang bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta, mengatakan kepada kantor berita nasional Antara bahwa seluruh rakyat Indonesia, khususnya angkatan perang, telah "kehilangan seorang bapak yang tidak ternilai jasa-jasanya kepada tanah air". Tokoh Muslim Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, menggambarkan sosok Soedirman sebagai "lambang dari kebangunan jiwa pahlawan Indonesia", sedangkan politisi Muslim Muhammad Isa Anshary menyatakan bahwa Soedirman adalah "putra revolusi, karena dia lahir dalam revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi". Dalam sebuah pidato radio, Hatta mengungkapkan bahwa Soedirman adalah sosok yang tidak mungkin bisa dikendalikan dan keras kepala, tetapi tetap bertekad untuk melakukan yang benar bagi negara; Hatta berkata meskipun Soedirman tidak menyukai jabatan pemerintahan, ia secara umum tetap mematuhi perintahnya. Namun, Hamengkubuwono IX mengungkapkan bahwa tentara terlatih seperti Abdul Haris Nasution dan Tahi Bonar Simatupang kecewa terhadap Soedirman karena latar belakang dan pengetahuan teknik militernya yang buruk.



Opini modern yang berkembang di Indonesia mengenai Soedirman cenderung berupa pujian. Sardiman, seorang profesor sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta, menulis bahwa Soedirman hidup sebagai pembicara seperti Soekarno, yang dikenal karena pidatonya yang berapi-api, dan pemimpin yang berbakti dan tidak bisa disuap. Sejarawan Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto  menggambarkan Soedirman sebagai "satu-satunya idolanya", menyatakan bahwa masa-masa gerilya sang jenderal adalah asal esprit de corps TNI. Kampanye gerilya Soedirman lebih ditekankan dalam biografinya karena pada masa ini, angkatan perang memiliki peran yang lebih besar jika dibandingkan dengan pemimpin politik di pengasingan. Sejak 1970-an, semua taruna militer harus menelusuri kembali rute gerilya Soedirman sepanjang 100-kilometer (62 mi) sebelum lulus dari Akademi Militer, bentuk "ziarah" yang bertujuan untuk menanamkan rasa perjuangan. Makam Soedirman juga menjadi tujuan ziarah, baik dari kalangan militer ataupun masyarakat umum. Menurut Katharine McGregor dari Universitas Melbourne, militer Indonesia telah memuliakan status Soedirman menjadi semacam orang suci.

Soedirman telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah pusat secara anumerta, termasuk Bintang Sakti, Bintang Gerilya, Bintang Mahaputra Adipurna,Bintang Mahaputra Pratama, Bintang Republik Indonesia Adipurna,[165] dan Bintang Republik Indonesia Adipradana. Pada 10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. Oerip juga dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh keputusan yang sama.Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal Besar pada tahun 1997.

Menurut McGregor, militer memanfaatkan sosok Soedirman sebagai simbol kepemimpinan setelah mereka meraih kekuasaan politik. Gambar Soedirman ditampilkan dalam seri uang kertas rupiah terbitan 1968. Soedirman juga ditampilkan sebagai karakter utama dalam beberapa film perang, termasuk Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1982).

Terdapat banyak museum yang didedikasikan untuk Soedirman. Rumah masa kecilnya di Purbalingga saat ini menjadi Museum Soedirman, sedangkan rumah dinasnya di Yogyakarta dijadikan Museum Sasmitaloka Jenderal Soedirman. Rumah kelahirannya di Magelang juga dijadikan Museum Soedirman, yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1967 dan menyimpan barang-barang milik sang jenderal. Museum lainnya, termasuk Monumen Yogya Kembali di Yogyakarta dan Museum Satria Mandala di Jakarta, memiliki ruangan khusus yang didedikasikan untuk dirinya. Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk sebuah jalan utama di Jakarta; McGregor menyatakan bahwa hampir setiap kota di Indonesia memiliki jalan bernama Soedirman. Patung dan monumen yang didedikasikan untuk dirinya juga tersebar di seluruh negeri, sebagian besarnya dibangun setelah tahun 1970.Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, Banyumas, didirikan pada 1963 dan dinamai sesuai namanya.


https://id.m.wikipedia.org/wiki/Soedirman

Rabu, 17 April 2019

MONUMEN JENDRAL SUDIRMAN KARANGLEWAS PURWOKERTO

Monumen yang terletak di pinggir Sungai Logawa Kecamatan Karanglewas, kurang lebih 4 km dari kota Purwokerto ini dibangun untuk mengenang perjuangan Jenderal Soedirman di Kabupaten Banyumas, khususnya Purwokerto. Berkat keahlian strategi dan kepandaian dalam bernegosiasi dengan penjajah Jepang maka pengambilalihan kekuasanan dari penjajah Jepang kepada para pejuang di Kabupaten Banyumas berjalan tanpa pertumpahan darah. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 15 Oktober 1945 bertempat di Markas Komando Kesatuan Pertahanan Jawa Tengah di Magelang.


Kiprah perjuangan Soedirman di Kabupaten Banyumas sudah dimulai sejak pemerintah mulai merintis terbentuknya ketentaraan negara di Republik Indonesia yang baru berdiri. Pada tanggal 1 s.d 3 September 1945 para bekas perwira PETA, Heiho, Seinendan, KNIL di Kabupaten Banyumas bertemu untuk membicarakan perihal pembentukan Badan Keamanan Rakyat ( BKR ) Banyumas. Pertemuan tersebut diadakan di gedung Yosodarmo di jalan Yosodarmo Purwokerto, dan dipimpin langsung oleh Soedirman.


Setelah BKR terbentuk dan Soedirman terpilih sebagai pimpinan umumnya, mereka bermarkas di gedung Landraat yang terletak di sebelah timur alun-alun Purwokerto.Belum lama setelah BKR Kabupaten Banyumas terbentuk , pada tanggal 5 Oktober 1945 Pemerintah Pusat mengeluarkan Dekrit tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) , maka para anggota BKR pun mentransformasikan diri menjadi anggota TKR dengan nama kesatuan yang baru yaitu Divisi V TKR dengan komandan Kolonel Soedirman.


Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun di Kweekschool(sekolah guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta, tetapi berhenti karena kekurangan biaya.Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama, Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik kaya bernama Raden Sastroatmojo.Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah mertuanya di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri.[24] Pasangan ini kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.



Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional. Salah seorang muridnya menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar yang akan mencampurkan humor dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di kalangan muridnya. Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat. Akibatnya, dalam beberapa tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru.Sebagai hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat dari tiga gulden menjadi dua belas setengah gulden. Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru yang berseteru. Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang pemimpin yang moderat dan demokratis.Ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana, baik untuk kepentingan pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan lainnya.


Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga terus bergiat sebagai anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai negosiator dan mediator yang lugas, berupaya untuk memecahkan masalah antar para anggota; ia juga berdakwah di masjid setempat. Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Banyumas pada akhir 1937. Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan dan pendidikan para anggota, baik dalam bidang agama ataupun sekuler. Ia kemudian mengikuti seluruh kegiatan Kelompok Pemuda di Jawa Tengah dan menghabiskan sebagian besar waktu luangnya dengan melakukan perjalanan dan berdakwah, dengan penekanan pada kesadaran diri. Alfiah juga aktif dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah.



Sumber Berita : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyumas.

Selasa, 16 April 2019

ZIARAH KE MAKAM PRESIDEN SUHARTO UNTUK YANG KE DUA KALI

Pada 8 Juni 1921, Soeharto dilahirkan oleh ibunya, bernama Sukirah di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono.


Dalam otobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang disusun G. Dwipayana, Sukirah digambarkan oleh Soeharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan masalah-masalah rumah tangga. Namun, banyak catatan di buku-buku sejarah Soeharto lain yang banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami problem mental yang sangat sulit.Sebelum Soeharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus menghadapi talak cerai suaminya, Kertosudiro.

Kertosudiro, seorang mantri ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah Soeharto, tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Soeharto. Bahkan, banyak pengamat Soeharto, seperti R.E. Elson, beberapa biografer dan orang dekatnya, termasuk Mantan Menteri Penerangan yang dekat dengan Soeharto, Mashuri, meyakini bahwa Kertosudiro bukanlah ayah kandung Soeharto. Pada tahun 1974, pernah muncul pemberitaan yang menghebohkan dari majalah gosip bernama ‘POP’ dengan liputan yang menurunkan kisah lama yang beredar bahwa Soeharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan dari trah Hamengkubowono II. Soeharto kecil yang berumur 6 tahun dibuang ke desa dan diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian dibantah keras oleh Soeharto. Dengan separuh murka, Soeharto mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai asal usul dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan subversif. Soeharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah anak desa.

Ketidakjelasan asal usul Soeharto secara genealogi sampai sekarang masih belum terpecahkan. Namun, dari semua itu, bayi Soeharto berada di dunia dengan kondisi keluarga yang kurang menguntungkan. Sukirah yang tertekan dan senang bertapa pernah ditemukan hampir mati di suatu tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan minum selama 40 hari) di suatu tempat yang tersembunyi, dan hilangnya sempat pernah membuat panik penduduk desa Kemusuk sehingga para penduduk mencarinya. Sadar dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan pengurusan bayi Soeharto kepada kakak perempuan Kertosudiro.

Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo. Soeharto menikah dengan Raden Ayu Siti Hartinah, anak KRMT Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang Wedana di Solo. Perkawinan Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto dengan Siti Hartinah (yang kemudian dikenal dengan Tien Soeharto) dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo. Ketika itu, usia Soeharto 26 tahun, sedangkan Siti Hartinah berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia enam putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi (Titiek) , Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).

Soeharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda, ia disekolahkan oleh Kertosudiro.Tidak ada berita-berita mengenai masa Soeharto di Sekolah Rakyat(setingkat SD). Kesan Soeharto pada masa SD itu hanya pada ingatannya tentang kerbau-kerbaunya. Dunia Soeharto hanya berkutat pada penggembalaan kerbau, jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak SD. Hal ini berbeda misalnya dengan cerita Soekarno sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir yang sejak kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens.
 

Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono, pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.

Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di langgar bersama teman-temannya, bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono. Hardjowijono adalah teman ayahnya yang merupakan pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.

Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk, untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).

Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, tetapi gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta berhenti.

Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.

MONUMEN PETA KOTA BLITAR

Monumen PETA, merupakan monumen yang dibangun untuk memperingati kejadian bersejarah yang terjadi pada tahun 1945, dimana saat itu Kota Blitar merupakan pusat terjadinya pemberontakan tentara PETA melawan tentara Jepang yang dipimpin oleh Soedanco Soepriyadi.

Untuk menghormatinya di bangun sebuah Monumen yang terletak di depan bekas markas PETA, tepatnya di Jl. Soedanco Soepriyadi. Monumen ini berbentuk sebuah patung yang mengangkat tangan kanannya, sebagai symbol bahwa dia tidak pernah menyerah untuk berjuang. Patung tersebut terlihat memakai seragam tentara Jepang, lengkap dengan topinya. Monumen ini ditujukan untuk mengenang pahlawan yang gugu dalam pertempuran tersebut agar dapat menyemangati para generasi muda dalam melanjutkan perjuangan Indonesia menjadi Negara yang besar.
Monumen ini sempat mengalami pemugaran dan kemudian diresmikan ulang pada tanggal 14 Februari 2008 yang bertepatan pada hari peringatan Pemberontakan PETA di Blitar.


Monumen POTLOT inilah bukti keberanian pemuda pemuda yang tergabung dalam Tentara PETA Blitar. Monumen ini terletak di kawasan Taman Makam Pahlawan Raden Wijaya Kota Blitar, lebih tepatnya di belakang makam pahlawan tersebut. Monumen POTLOT selain sebagai saksi keberanian para pemuda blitar juga termasuk tempat pertamakali dikibarkanya bendera Sangsaka Merah Putih pada tanggal 14 Februari 1945. pengibaran ini terjadi pada peristiwa pemberontakan Tentara PETA terhadap Jepang yang di pimpin Shudancho Suprijadi sekitar pukul 03.00 wib, dini hari. seorang algojo berani nekat mengibarkan Sangsaka Merah Putih tersebut adalah Parto Hardjono.



Peristiwa pada masa peresmian Monument Potlot atau monument perjuangan tentara Peta di Kota Blitar pada tahun 1946 satu tahun setelah Indonesia merdeka. Peresmian tersebut langsung di resmikan oleh bapak TNI Jendral Soedirman. Terlihat Jendral Soedirman meletakan serangkaian bunga untuk menandakan monument telah di resmikan sebagai monument perjuanagan nasional.

Suasana pada saat itu sangat ramai seperti yang terlihat pada gambar. Tidak hanya Jendral Soedirman, banyak dari tentara tentara, polisi polisi, serta pegawai pegawai negeri sipil yang ada di Indonesia ikut menghadiri upacara peresmian Monumen Potlot tersebut.Selain itu banyak warga Kota Blitar yang juga antusias menyaksikan peristiwa penting tersebut serta melakukan renungan untuk para pahlawan Indonesia.


Monumen PETA, merupakan monumen yang dibangun untuk memperingati kejadian bersejarah yang terjadi pada tahun 1945, dimana saat itu Kota Blitar merupakan pusat terjadinya pemberontakan tentara PETA melawan tentara Jepang yang dipimpin oleh Soedanco Soepriyadi.

Untuk menghormatinya di bangun sebuah Monumen yang terletak di depan bekas markas PETA, tepatnya di Jl. Soedanco Soepriyadi. Monumen ini berbentuk sebuah patung yang mengangkat tangan kanannya, sebagai symbol bahwa dia tidak pernah menyerah untuk berjuang. Patung tersebut terlihat memakai seragam tentara Jepang, lengkap dengan topinya. Monumen ini ditujukan untuk mengenang pahlawan yang gugu dalam pertempuran tersebut agar dapat menyemangati para generasi muda dalam melanjutkan perjuangan Indonesia menjadi Negara yang besar.


Monumen ini sempat mengalami pemugaran dan kemudian diresmikan ulang pada tanggal 14 Februari 2008 yang bertepatan pada hari peringatan Pemberontakan PETA di Blitar.

Monumen PETA terletak di Jl. Sudanco Supriyadi, Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sananwetan, Blitar. Sebagai salah kota yang memiliki sejarah perjuangan di masa Penjajahan, Blitar memiliki beberapa perninggalan bersejarah yang patut dikunjungi, baik untuk rekreasi keluarga atau sebagai situs edukasi bersejarah.


Monumen PETA ini menjadi tugu peringatan saat terjadinya pemberontakan PETA Blitar melawan penjajah Jepang, di bawah pimpinan Soeprijadi. Monumen ini dibangun pada 14 Februari 1988, tanggal dan bulan yang sama saat terjadinya pergerakan pertama di tahun 1945.

yang memberontak bukan hanya Sodancho Soepriadi. Tetapi putra Blitar tersebut didukung oleh 6 tokoh yang lain, yaitu : Chudancho dr Soeryo Ismail, Shodancho Soeparjono, Budancho Soedarmo, Shodancho Moeradi, Budancho Halir Mangkoe Dijaya, dan Budancho Soenanto. Berangkat dari kesadaran bahwa keenam pejuang PETA tersebut juga bahu-membahu bersama Sodancho Soepriadi melawan Jepang, maka Pemerintah Kota Blitar ingin menempatkan mereka sebagaimana layaknya para pejuang. Cara yang dipilih adalah, dengan membangun patung keenam tokoh tersebut, satu area di kompleks Monumen PETA. Tanpa mengesampingkan peran sentral tokoh Sodancho Soepriadi sebagai pemimpin pemberontakan, maka keenam patung tokoh tersebut, dibangun mengapit patung Sodancho Soepriadi yang lebih dulu dibangun. Posisinya, tiga patung di sisi timur dan tiga lainnya di sisi barat. Peletakan batu pertama yang menandai dibangunnya keenam patung pahlawan PETA tersebut, dilakukan oleh Walikota Blitar Drs H Djarot Syaiful Hidayat MS. 16 Agustus 2007. Dan monumen tersebut selesai dipugar dan diresmikan 14 Pebruari 2008 tepat pada hari peringatan Pemberontakan PETA Blitar.

Suasana monumen di tengah kota ini sangat nyaman, terdapat beberapa pohon dan area untuk bersantai, dan beberapa penjual makanan dan minuman untuk melepas penat saat bersantai di sekitar monumen. Diharapkan, dengan kerjasan pemerintah kota dan masyarakat sekitar, monumen ini bisa terjaga kelestarian dan kebersihannya

ZIARAH KE MAKAM HOS COKROAMINOTO DI YOGYAKARTA

Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (lahir di Jawa Timur, 16 Agustus 1883 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 51 tahun ( dalam Buku Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, karangan Drs. Mansur, MA. Penerbit Pustaka Pelajar, 2004; halaman 13)), lebih dikenal dengan nama H.O.S Cokroaminoto, merupakan salah satu pemimpin organisasi pertama di Indonesia, yaitu Sarekat Islam (SI).

Bakur, sebuah desa yang sunyi di daerah Madiun, pada tanggal 16 Agustus 1883 menjadi saksi lahirnya seorang anak kecil bernama Oemar Said Tjokroaminoto. Pada waktu yang bersamaan meletus lah Gunung Krakatau di Banten.

Menurut kepercayaan orang Jawa, meletusnya gunung berapi akan menimbulkan perubahan alam yang ada disekitarnya. Peristiwa ini nantinya dikaitkan dengan meledaknya tuntutan Tjokroaminoto kepada Belanda ketika ia menjadi pimpinan Sarekat Islam.

Kakek buyutnya adalah seorang ulama pemilik pondok pesantren di Desa Tegal Sari, Kabupaten Ponorogo yang menikahi seorang putri dari Susuhunan II. Karena pernikahan ini, ia menjadi keluarga Keraton Surakarta dan nantinya mendapat gelar kebangsawanan yaitu Raden Mas.
Sedangkan kakeknya adalah Raden Mas Adipati Tjokronegoro, berprofesi sebagai pegawai pemerintah. RM Tjokronegoro pernah menjadi Bupati di Ponorogo. Karena prestasi-prestasi yang ditorehkan ia pernah dianugerahi gelar Ridder der Nederlansche Leeuw dari pemerintah kolonial.

RM Tjokronegoro memiliki putra bernama Raden Mas Tjokroamiseno. Seperti ayahnya, Tjokoramiseno menekuni pekerjaan sebagai pegawai pemerintahan. Jabatan-jabatan penting pernah didudukinya seperti wedana di Kewedanan Kletjo, Madiun.

Tjokroamiseno mempunyai 12 orang anak yaitu :
  1. Raden Mas Oemar Djaman, seorang pensiunan Wedana
  2. Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto
  3. Raden Ayu Tjokrodisoedirjo, seorang istri almarhum mantan Bupati Purwokerto
  4. Raden Mas Poerwadi Tjokrosoedirjo, seorang bupati yang diperbantukan kepada Residen Bojonegoro.
  5. Raden Mas Oemar Sabib Tjokrosoeprodjo, seorang pensiunan Wedana yang kemudian masuk PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dan Masyumi yang kemudian meninggal di Madiun di zaman yang terkenal dengan isitlah ‘Madiun Affair’
  6. Raden Ajeng Adiati
  7. Raden Ayu Mamowinoto, seorang istri pensiunan pegawai tinggi
  8. Raden Mas Abikoesno Tjokrosoejono, seorang arsitek terkenal juga politikus ulung yang pernah menjadi ketua PSII dan sempat menjabat sebagai menteri di Kabinet Republik Indonesia.
  9. Raden Ajeng Istingatin
  10. Raden Mas Poerwoto
  11. Raden Ajeng Istidjah Tjokrosoedarmo seorang pegawai tinggi Kehutanan.
  12. Raden Ayu Istirah Mohamad Soebari, seorang pegawai tinggi Kementerian Perhubungan.
  13. Pendidikan HOS Tjokroaminoto
Semasa kecilnya, Tjokroaminoto sering berpindah-pindah (keluar-masuk) dari satu sekolah ke sekolah lainnya dikarenakan keberanian dan kenakalannya.
Seperti halnya anak seorang priyayi Jawa lainnya, ia mendapatkan pendidikan di sekolah milik pemerintah (Ambtenaar School) salah satunya OSVIA (Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Magelang dengan harapan setelah lulus menjadi pegawai pemerintahan.
Sedangkan pendidikan yang diterima di lingkungannya adalah berbasis agama sesuai latar belakang keluarga sejak kakek buyutnya.

Dibesarkan keluarga yang agamis membuat Tjokroaminoto tumbuh menjadi pribadi yang alim dan menjunjung tinggi ajaran-ajaran Islam. Gelar ‘Haji’ yang disandangnya menjadi bukti betapa ia menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya.

Soeharsikin, seorang wanita keturunan priyayi (menurut asal-usulnya, ia keturunan Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir di Madiun) yang dikenal sebagai pribadi yang halus budi pekertinya, baik peringainya, dan cekatan menjadi istri Tjokroaminoto.
Sejak awal masa pernikahannya, keduanya sudah dihadapkan pada permasalahan yang cukup pelik. Permasalahan itu terjadi karena perbedaan paham antara Tjokroaminoto dan mertuanya.

Oleh mertuanya yang masih kolot dan cenderung elitis, Tjokroaminoto dipaksa untuk menjadi pegawai pemerintah yang sesungguhnya tidak sesuai dengan minatnya.
Selama tiga tahun ia mencoba menuruti kemauan mertuanya dimana ia bekerja sebagai pegawai pemerintahan (juru tulis patih) di Ngawi. Namun perbedaan paham itu dari hari ke hari semakin meruncing.
Dengan segala keberanian yang dimilikinya, ia pun memutuskan untuk pergi dari rumah mertuanya dimana saat itu Soeharsikin sedang mengandung anak pertamanya.

Akibatnya, Soeharsikin dipaksa oleh orang tuanya untuk menceraikan Tjokroaminoto karena dirasa telah mencoreng nama baik keluarganya.
Dalam kondisi yang serba dilema antara kedua pilihan, Soeharsikin akhirnya tetap memilih bersama suaminya. Hal ini membuat kedua orangtuanya tidak dapat berbuat apa-apa menerima keputusannya.
Ketika anak pertamanya telah lahir, Soeharisikin pernah mencoba untuk menyusul suaminya namun dapat dicegah oleh kedua orang tuanya.

Tahun 1905, ia sudah tidak lagi menjadi juru tulis patih dan merantau hingga ke kota Semarang. Untuk menyambung hidupnya, ia pernah menjadi kuli pelabuhan. Bekerja di sektor infomal membuatnya memiliki banyak interaksi dengan kaum buruh. Hingga akhirnya ia mempelopori berdirinya ‘sarekat kerja’ untuk mengangkat derajat kaum buruh.
Demi perkembangan hidupnya, HOS Tjokroaminoto melanjutkan perantaunya ke Surabaya. Di kota ini, ia bekerja di sebuah firma bernama Kooy & Co. Selain bekerja ia juga melanjutkan pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke Avond School) pada tahun 1907-1910 untuk mendalami ilmu perdagangan.
Setelah lulus dari sekola B.A.S, ia berheni dari pekerjaannya di firma itu dan beralih profesi menjadi Leerling Machinist selama satu tahun (1911-1912). Tidak lama juga, akhirnya ia pindah bekerja lagi di pabrik gula, Rogojampi Surabaya sebagai seorang chemiker.
Disamping bekerja di perusahan dan pabrik, ia juga tetap menyempatkan untuk mengembangkan minat di bidang jurnalistik. Ia masih sering mengirimkan karya tulisan di berbagai surat kabar yang ada di Surabaya. Karena kegigihannya itu, HOS Tjokroaminoto diangkat menjadi pembantu di surat kabar Suara Surabaya.

Setelah merasa cukup lama merantau, HOS Tjokroaminoto memutuskan untuk menetap di Surabaya dan membawa serta Soeharsikin dan anak-anaknya, berturut-turut : Siti Oetari, Oetarjo alias Anwar, Harsono alias Moestafa Kamil, Siti Islamijah dan Soejoet Ahmad.
Keluarga ini hidup dalam kesederhaan namun tetap harmonis. Soeharsikin menyadari betul kondisi yang dialami keluarganya. HOS Tjokroaminoto jarang berada di rumah.
Permasalahan itu membuatnya membantu meringankan kebutuhan keluarga dengan membuka rumahnya sebagai tempat kost para pelajar HBS, MULO, MTS di Surabaya.
Para pelajar yang pernah kost di rumah HOS Tjokroaminoto adalah Soekarno, Kartosuwiryo, sampoerno, dan Abikoesno, Alimin dan Moesso.

Pembukaan rumah kost ini juga memberikan pekerjaan bagi Mbok Tambeng, seorang emban yang bekerja untuk keluarga HOS Tjokroaminoto. Soekarno sangat terbantu dengan keberadaan mbok Tambeng seperti menjahit celananya dan menyiapkan gado-gado sebagai makanan kegemarannya.
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.

Bergelar De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota" oleh Belanda, Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di indonesia dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di Indonesia. Berangkat dari pemikirannya pula yang melahirkan berbagai macam ideologi bangsa Indonesia pada saat itu. Rumahnya sempat dijadikan rumah kost para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka pernah berguru padanya. Ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda. Setelah ia meninggal, lahirlah warna-warni pergerakan Indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya, yakni kaum sosialis/komunis yang dianut oleh Semaoen, Muso, Alimin. Soekarno yang nasionalis, dan S.M Kartosuwiryo yang Islam merangkap sebagai sekretaris pribadi. Namun, ketiga muridnya itu saling berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh kekuatan politik pada saat itu memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling berhadap-hadapan hingga terjadi Pemberontakan Madiun 1948yang dilakukan Partai Komunis Indonesiakarena memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" yang dipimpin Muso. Dengan terpaksa Presiden Soekarno mengirimkan pasukan elite TNI yakni Divisi Siliwangi yang mengakibatkan "abang", sapaan akrab Soekarno kepada Muso, pemimpin Partai komunis pada saat itu tertembak mati pada 31 Oktober 1948. dilanjutkan oleh Negara Islam Indonesia(NII) yang dipimpin oleh S.M Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati yang dijatuhkan oleh Soekarno kepada kawannya S.M Kartosuwiryo pada 12 September 1962. Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua.

Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan. Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, S.M Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.

Tjokro meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.
Sebuah film dengan judul Guru Bangsa: Tjokroaminoto telah dibuat dengan mengangkat sebagian kisah Oemar Said Tjokroaminoto. Film yang diproduksi pada tahun 2015, ini disutradarai oleh Garin Nugroho, dengan pemeran utama Reza Rahardian.
HOS Tjokroaminoto mengajarkan kepada anak kostnya bahwa melalui kedisplinan dan tekad perjuangan yang kuat sebuah perjuangan akan mencapai hasil yang diharapkan. Sikap kerasnya pada dasarnya masih dalam taraf sewajarnya.
Penanaman nilai-nilai religi dalam pendidikan juga diberikan oleh HOS Tjokroaminoto.
Karena ia merasa sangat penting dalam membentuk sikap dan sifat seorang anak agar sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Pendidikan agama juga digunakan untuk mengimbangi pendidikan barat anak-anak kostnya.

Media pendidikan yang digunakan HOS Tjokroaminoto adalah seni. Kesenian yang digemarinya adalah seni tari dan gamelan. Hanoman merupakan tokoh yang sering diperankan olehnya. Menurutnya Hanoman adalah simbol perlawanan terhadap penindasan.

Nilai-nilai nasionalisme dan sosialisme juga tidak luput untuk diajarkan kepada anak-anak kostnya. Menurutnya nasionalisme akan memberikan kesadaran kebangsaan kepada anak kostnya. Sedangkan sosialisme akan mengajarkan kemerdekaan sebagai seorang bangsa, persamaan derajat sebagai manusia, dan persaudaraan sebagai kesatuan umat.

Di Surabaya juga HOS Tjokroaminoto mulai aktif berorganisasi dan menjadi ketua perkumpulan Panti Harsoyo. Oleh M. Hasan Ali Surati (ketua perkumpulan Manikem), ia diperkenalkan dengan 4 orang pengurus Sarekat Dagang Islam (SDI) yang sedang meninjau kota Surabaya dalam keperluan perluasan cabang SDI. Kemudian HOS Tjokroaminoto tertarik untuk menjadi anggota SDI dan ia pun ditunjuk untuk mempimpin SDI cabang Surabaya.
Saat diadakannya kongres kedua SDI di Surabaya pada 26 Januari 1913 di Surabaya, KH Samanhudi menunjuk HOS Tjokroaminoto untuk menjadi wakil ketua SDI nasional dan menjadi redaktur pelaksana Oetoesan Hindia.

Sejak saat itu, KH Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto sering berdiskusi hingga pada suatu kesempatan HOS Tjokroaminoto mengusulkan perubahan nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI) dengan pertimbangan bahwa anggota SDI tidak terbatas pada kaum pedagang tetapi seluruh lapisan rakyat Hindia Belanda. Akhirnya usulan ini disetujui.
Masuknya kaum terpelajar (pendukung HOS Tjokroaminoto) sebagai anggota SI, membuat dukungan terhadapnya semakin kuat. Gaya kepemimpinannya dianggap lebih cocok untuk membawa SI menjadi organisasi yang lebih berpengaruh di Hindia Belanda daripada KH Samanhudi yang dinilai terlalu konservatif.

Puncak perselisihan antara pendukung HOS Tjokroaminoto dan pendukung KH Samanhudi adalah ketika kongres ketiga di Yogyakarta (April 1914). Dimana HOS Tjokroaminoto dipilih menjadi ketua SI oleh kongres menggantikan KH Samanhudi.
Untuk menghormati jasa KH Samanhudi, dibentuklah ketua kehormatan Central Sarekat Islam (CSI), suatu jabatan tanpa kekuasaan. Melalui lobi-lobi HOS Tjokroaminoto kepada pemerintah Hindia Belanda, afdeling-afdeling berubah menjadi SI lokal. Selain itu SI juga berhasil mendapatkan ijin untuk membentuk kepengurusan pusat yang dinamai Central Sarekat Islam (CSI).

HOS Tjokroaminoto mengubah konsep pergerakan SI dari pergerakan di bidang ekonomi menjadi organisasi pergerakan nasional yang berorientasi sosial politik dan beralihnya kepemimpinan dari kelompok borjuis pribumi ke kaum intelektual yang berpendidikan barat.
Dibantu oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis, HOS Tjokroaminoto berhasil membawa SI menjadi organisasi pergerakan pertama berskala nasional yang berhasil memiliki anggota sebanyak 2,5 juta orang. Mereka bertiga dikenal sebagai Tiga Serangkai-nya SI.

Semakin meluasnya pengaruh politik Etis, membuat SI mengajukan tuntutan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan parlemen. Tuntuan itu semakin bertambah besar dan kuat dari hari ke hari, sehingga memaksa pemerintah untuk mendirikan Dewan Rakyat atau Volksraad untuk meredam tuntutan itu. Bersama dengan Abdul Muis, HOS Tjokroaminoto duduk sebagai wakil SI di Volksraad dan memposisikan diri mereka sebagai oposisi dikarenakan jumlah pribumi di Volksraad hanya berjumlah 25 orang, sementara wakil Belanda 30 orang dan dari Asia Timur sebanyak 5 orang.
Pada awal masa kepemimpinannya di SI, pergerakannya belumlah terlalu radikal. Sikap radikal HOS Tjokroaminoto tumbuh seiring dengan semakin radikalnya kaum pergerakan pada waktu itu.
Ada dua hal yang menjadi alasan perubahan pergerakan itu. Pertama, Penangkapan dirinya atas dugaan keterlibatan kasus SI seksi B dan peristiwa Garut tahun 1919. Namun setelah 9 bulan ditahan HOS Tjokroaminoto dibebaskan karena tidak semua tuduhan itu tidak bisa dibuktikan oleh pemetintah Kolonial.

Kedua, setelah bebas HOS Tjokroaminoto mendapati SI sedang di ambang perpecahan. Hal ini disebabkan masuknya pengaruh komunis dalam tubuh SI. Oleh sebab itu muncul dua kelompok yang berseturu, SI putih yang diwakili oleh Agus Salim dan SI Merah yang dipimpin oleh Semaon.
Sebelumnya telah disinggung bahwa rumah Tjokroaminoto di Surabaya diibaratkan seperti meelting point atau tempat bertemunya berbagai ideologi yang sedang berkembang di masa pergerakan. Di dalam bertemunya ideologi juga ada diskusi dan pendidikan bagi para murid yang kos.
Pemikiran Sosialisme Islam Tjokroaminoto dipahami dan diintepretasikan berbeda-beda oleh para muridnya. Seperti Soekarno yang mengolahnya menjadi paham Nasionalis, Kartosuwiryo dengan Fundamentalis Islam, sedangkan Alimin dan Musso lebih memilih paham komunis.

Perseteruan Tjokroaminoto sebagai guru dengan muridnya paling awal adalah berhadapan dengan paham komunis yang dianut Alimin dan Musso.
Awalnya ia masih bersikap toleran kepada komunisme di dalam internal SI namun semakin kuatnya infiltrasi hingga terjadi perpecahan makn akhirnya ia pun harus mengambil sikap tegas terhadap komunisme.Pada kongres CSI di Madiun, diambillah keputusan untuk meningkatakan kualitas perjuangan dari sarekat menjadi partai. Hal ini juga dirasa penting karena SI dikenal sebagai pelopor dalam pergerakan Indonesia pada waktu itu maka status itu perlu untuk dipertahakan.
Langkah ini diambil juga untuk mempersiapakan SI dalam menghadapi pemerintah kolonial dan PKI yang sedang berkembang menjadi satu kekuatan pergerakan Indonesia yang mengimbangi SI.
PKI sendiri mengalami kegagalan dalam pergerakan sekitar tahun 1926-1927. Kegagalan itu disebabkan pemberontakan yang tidak terorganisir dan terpisah-pisah. Hal ini membuat pemerintah kolonial memiliki alasan kuat untuk membubarkan PKI.

Hilangnya kekuatan PKI dalam masa pergerakan menjadi suatu momentum untuk kelahiran paham nasionalis (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno sebagai salah satu alternatif. Ia mulai menggantikan Tjokroaminoto dan PKI sebagai bintang pergerakan.
Awalnya baik Tjokroaminoto dan Soekarno sepakat untuk berjuang bersama untuk Kemerdekaan Indonesia. Hal ini ditandai dengan dibentuknya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) pada 17-18 Desember 1927.
Federasi ini terdiri dari organisasi politik baik yang mengusung konsep kooperasi maupun nonkooperasi seperti PNI, PSI, Boedi Oetomo, Pasundan, Sarekat Sumatera, Kaum Betawi, Indonesische Studie Club, Sarekat Madura, Perserikatan Brebes, dan Tirtajasa Banten.
Namun dalam perkembangannya terjadi ketidakharmonisan antara Tjokroaminoto dan Soekarno. Golongan Nasionalis terus menyerang PSI. Soekarno menyindir Pan Islamisme milik PSI yang dianggapnya terlalu mengharapkan bantuan dari pihak pemerintah.

Tjokroaminoto paham betul jika popularitas PSI sedang digantikan oleh PNI. Dalam berbagai kongres PSI, ia menghimbau anggotanya untuk tidak meninggalkan PSI kemudian bergabung dengan PNI dan mengingatkan jika nasionalisme juga cinta tanah air jangan hanya diidentikkan dengan PNI saja. Pada kongres yang ke XIV di Jakrta pada Januari 1929 diputuskan perubahan nama PSI menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), meski landasan perjuangannya tetap Islam.
Akhir Perjuangan Hidup HOS Tjokroaminoto

Sepulang dari Sulawesi pada akhir 1933, kesehatan Tjokroaminoto mulai menurun. Pada saat itu ia sudah mulai sakit-sakitan. Namun ia tetap memaksakaan untuk bekerja.
Rekan-rekan seperjuangannya telah berusaha menasehati dirinya untuk berisitirahat lebih banyak hingga kesehatannya kembali membaik. Namun ia lebih memilih untuk tetap melanjutkan perjuangannya mempimpin PSII.

Hal ini dibuktikan dengan kehadiran dirinya pada konferensi wilayah PSII Jawa Timur pada tnggal 30 September – 2 September 1934 di Pare.
Akhirnya pada tanggal 17 Desember 1934 HOS Tjokroaminoto mengehembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan di Kuntjen, Yogyakarta.
Rasa duka cita yang begitu mendalam dirasakan oleh petinggi PSSI seperti Agoes Salim, Kartosoewiryo, Wondoamiseno, Sangadji, dan lainnya atas wafatnya HOS Tjokroaminoto.

Puteri sulungnya, Oetari Tjokroaminoto terkejut ketika dirinya mendapat ucapan bela sungkawa dari Soekarno. Karena dirinya tidak menyangka Soekarno akan menghubunginya kembali.
Ucapan belasungkawa juga datang dari Umat Islma yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia Raya di Mesir. Untuk mengenang jasa-jasa yang telah diberikan olehnya, berdasarkan SK. Presiden RI No. 590 / 1961, HOS Tjokroaminoto diangkat menjadi pahlawan nasional.




Sumber Artikel :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/18015/Chapter%20II.pdf?sequence=3
Rintahani Johan Pradana. Strategi Pendidikan Tjokroaminoto Dalam Rumah Kost Soeharsikin Surabaya (1912-1922)


Sumber Gambar :

KISAH DUSUN KEMUSUK DIMANA PRESIDEN H.M.SOEHARTO DI LAHIRKAN