Selasa, 16 April 2019

ZIARAH KE MAKAM PRESIDEN SUHARTO UNTUK YANG KE DUA KALI

Pada 8 Juni 1921, Soeharto dilahirkan oleh ibunya, bernama Sukirah di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono.


Dalam otobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang disusun G. Dwipayana, Sukirah digambarkan oleh Soeharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan masalah-masalah rumah tangga. Namun, banyak catatan di buku-buku sejarah Soeharto lain yang banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami problem mental yang sangat sulit.Sebelum Soeharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus menghadapi talak cerai suaminya, Kertosudiro.

Kertosudiro, seorang mantri ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah Soeharto, tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Soeharto. Bahkan, banyak pengamat Soeharto, seperti R.E. Elson, beberapa biografer dan orang dekatnya, termasuk Mantan Menteri Penerangan yang dekat dengan Soeharto, Mashuri, meyakini bahwa Kertosudiro bukanlah ayah kandung Soeharto. Pada tahun 1974, pernah muncul pemberitaan yang menghebohkan dari majalah gosip bernama ‘POP’ dengan liputan yang menurunkan kisah lama yang beredar bahwa Soeharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan dari trah Hamengkubowono II. Soeharto kecil yang berumur 6 tahun dibuang ke desa dan diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian dibantah keras oleh Soeharto. Dengan separuh murka, Soeharto mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai asal usul dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan subversif. Soeharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah anak desa.

Ketidakjelasan asal usul Soeharto secara genealogi sampai sekarang masih belum terpecahkan. Namun, dari semua itu, bayi Soeharto berada di dunia dengan kondisi keluarga yang kurang menguntungkan. Sukirah yang tertekan dan senang bertapa pernah ditemukan hampir mati di suatu tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan minum selama 40 hari) di suatu tempat yang tersembunyi, dan hilangnya sempat pernah membuat panik penduduk desa Kemusuk sehingga para penduduk mencarinya. Sadar dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan pengurusan bayi Soeharto kepada kakak perempuan Kertosudiro.

Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo. Soeharto menikah dengan Raden Ayu Siti Hartinah, anak KRMT Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang Wedana di Solo. Perkawinan Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto dengan Siti Hartinah (yang kemudian dikenal dengan Tien Soeharto) dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo. Ketika itu, usia Soeharto 26 tahun, sedangkan Siti Hartinah berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia enam putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi (Titiek) , Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).

Soeharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda, ia disekolahkan oleh Kertosudiro.Tidak ada berita-berita mengenai masa Soeharto di Sekolah Rakyat(setingkat SD). Kesan Soeharto pada masa SD itu hanya pada ingatannya tentang kerbau-kerbaunya. Dunia Soeharto hanya berkutat pada penggembalaan kerbau, jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak SD. Hal ini berbeda misalnya dengan cerita Soekarno sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir yang sejak kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens.
 

Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono, pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.

Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di langgar bersama teman-temannya, bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono. Hardjowijono adalah teman ayahnya yang merupakan pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.

Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk, untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).

Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, tetapi gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta berhenti.

Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.