Sabtu, 20 April 2019

ZIARAH KE MAKAM KI HAJAR DEWANTORO DI YOGYAKARTA

Ki Hajar Dewantara adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.

Ki Hajar Dewantara merupakan tokoh nasional dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nama aslinya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia lahir di Pakualaman dan cucu dari Pakualam III. Soewardi dia juga membawa kesenian keraton ke luar wilayah kerajaan dan bisa dimainkan oleh rakyat biasa, salah satunya Tari Golek.

Nama Lengkap Raden Mas Soewardi Soerjaningrat Populer dengan sebutan Ki Hajar Dewantara
menganut agama Islam tempat Lahir Yogyakarta Kamis 2 Mei 1889 Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai dengan perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsa
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan Ki Hajar Dewantara dalam bahasa Jawa berbunyi :

Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi contoh)
Ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat)
Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan)

Semboyan tersebut masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Taman Siswa.

Ia dikenal sebagai seorang penulis, jurnalis, tokoh politik dan pelopor pendidikan bagi bangsa Indonesia saat zaman penjajahan Belanda. Ki Hajar Dewantara adalah pendiri taman siswa, lembaga pendidikan yang memberi kesempatan bagi rakyat pribumi untuk memperoleh pendidikan. Ia kemudian diangkat menjadi Menteri Pendidikan Republik Indonesia yang pertama. Ki Hajar Dewantara kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional dengan gelar Bapak Pendidikan Nasional.

Tanggal lahirnya, 2 Mei, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Ki Hajar Dewantara sendiri meninggal pada 26 April 1959 di usia yang ke 69 tahun. Salah satu semboyan yang ia buat, Tut Wuri Handayani, kemudian menjadi slogan Kemetrian Pendidikan Nasional Indonesia.

Ia menamatkan Sekolah Dasar pendidikan ELS (Europeesche Lagere School) dan Setelah itu, sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) namun tidak sampai tamat dikarenakan sakit. Pekerjaannya Jurnalis karir Pendiri perguruan Taman Siswa warga Negara Indonesia mempunyai istri namanya Nyi Sutartinah

Kemudian Ki Hajar Dewantara bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, diantaranya De Express, Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Poesara, Tjahaja Timoer dan Sedyotomo.
Pada eranya, ia termasuk penulis fenomenal. Tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara sangat komunikatif namun juga tajam dan patriotik, sehingga mampu membangkitkan semangat anti-kolonial bagi pembacanya.

Kemudian, bersama dengan Dr. Danudirdja Setyabudhi atau yang lebih dikenal Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme di Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia.


Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini demi memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Namun pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg mencoba menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913.

Alasan penolakan tersebut ialah karena organisasi ini dianggap dapat menumbuhkan dan membangkitkan rasa nasionalisme rakyat serta menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Lantas setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij Ki Hajar Dewantara pun
ikut membentuk Komite Boemipoetra pada bulan November 1913. Komite ini sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.
Komite Boemipoetra melancarkan kritik kepada Pemerintah kolonial Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Jejak-jejak peninggalan Ki Hajar Dewantara terekam dengan rapi di Museum Dewantara Kirti Griya yang berlokasi di Jalan Taman Siswa Yogyakarta. Di tempat ini, tokoh pelopor pendidikan rakyat Raden Mas Suwardi Suryaningrat menghabiskan waktu bersama istri.

Museum yang diresmikan Nyi Hadjar pada 2 Mei 1970 diberi nama sesuai fungsinya semula. Kirti berarti kerja dan griya bermakna rumah. Bangunan yang luasnya tidak lebih dari 500 meter persegi itu bukan hanya tempat tinggal keluarga Ki Hajar Dewantara, melainkan juga tempatnya berkarya.

Ki Hadjar Dewantara merupakan orang yang sangat perhatian dan peduli dengan keluarganya. Hal ini tampak dari dua kamar yang pernah ditempati beliau semasa hidup.

Kamar pertama merupakan ruang kerjanya dengan mesin ketik kuno yang menghasilkan suara keras ketika dioperasikan. Letaknya berada di depan. Sementara, kamar lainnya, agak di belakang, merupakan tempat tidur bersama dengan sang istri.
Ki Hajar tidak ingin istrinya terganggu dengan suara mesin ketik ketika ia harus bekerja. Demikian pula dengan sang anak yang menempati kamar di sebelah kamar tidurnya dengan sang istri.

Museum ini menyimpan baju penjara milik Ki Hajar. Baju berwarna cokelat pudar itu terbuat dari bahan menyerupai goni dan disimpan di dalam lemari kaca. saat bekerja sebagai penulis, Ki Hajar Dewantara tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial dan kebangsaan.Ki Hadjar meyakini seni sebagai ujung tombak pendidikan. Ia menghasilkan tembang dolanan anak dari piano yang tersimpan di ruang tengah museum. Dia juga memajang lukisan Affandi di dinding kamar tidur anaknya. bahkan, maestro lukis itu juga menjadi salah satu pamong di perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hadjar.


Ki Hajar Dewantara punya peran penting dalam membangun pendidikan di Indonesia.

Beliau melepas gelar kebangsawanannya dan mengganti namanya pada usia 40 tahun. Ki Hadjar ingin menyatu dengan orang kebanyakan, Ia memilih nama Ki Hadjar Dewantara yang berasal dari kata hadjar berarti guru dan Dewa Antara yang bermakna penghubung Bumi dan dunia yang lebih tinggi.

Selain gigih sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, Ki Hajar Dewantara aktif di seksi propaganda organisasi Boedi Oetomo untuk bersosialisasi dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Ki Hajar Dewantara juga dikenal aktif dalam berorganisasi baik di bidang sosial atau politik. Ia aktif melakukan sosialisasi mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara, terutama setelah berdirinya Boedi Oetomo (BO) di tahun 1908.

Ia juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda.
Ki Hajar Dewantara sempat mempublikasikan tulisan berjudul 'Seandainya Aku Seorang Belanda' atau judul aslinya 'Als ik een Nederlander was'. Dalam tulisan itu Ki Hajar mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang berniat merayakan kemerdekaan Belanda dari Prancis di tanah jajahannya sendiri yaitu Indonesia.

Sehubungan dengan rencana perayaan tersebut, Ki Hajar Dewantara mengkritik lewat tulisannya yang berjudul Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) dan Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda).

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Selaras dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, namun juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Gagasan untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama adalah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.

 Tulisan “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang dimuat dalam surat kabar de Expres yang dimotori dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

Pada eranya, ia termasuk penulis fenomenal. Tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara sangat komunikatif namun juga tajam dan patriotik, sehingga mampu membangkitkan semangat anti-kolonial bagi pembacanya.

Selain gigih sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, Ki Hajar Dewantara aktif di seksi propaganda organisasi Boedi Oetomo untuk bersosialisasi dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Akibat tulisan tersebut, Ki Hajar Dewantara bersama dua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ditangkap dan diasingkan ke Belanda pada tahun 1913. Ketiganya kemudian dikenal sebagai tokoh 'Tiga Serangkai'.

Kemudian, bersama dengan Dr. Danudirdja Setyabudhi atau yang lebih dikenal Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme di Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia .

Cipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker merasakan kawan seperjuangannya diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Raden Mas Soewardi.
Akan tetapi pihak kolonial menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah Belanda. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Dr. Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda dan dr. Douwes Dekker dibuang di Kupang.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda sebab di sana mereka bisa mempelajari banyak hal dari pada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diizinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Dalam pengasingan di Belanda, Ki Hajar Dewantara aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia bernama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Ia bahkan mendirikan Indonesisch Pers-bureau atau kantor berita Indonesia pada tahun 1913. Berdasarkan sejarah, nama tersebut merupakan penggunama istilah 'Indonesia' yang pertama kali secara formal.
Ki Hajar menempuh pendidikan tinggi hingga memperoleh Europeesche Akta, ijazah pendidikan bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Ki Hajar juga mempelajari berbagai ide dari tokoh pendidikan dari barat dan India yang menjadi landasan dalam mengembangkan sistem pendidikan Indonesia.

Tahun 1919, Ki Hajar kembali ke Indonesia dan bergabung dalam sekolah binaan saudaranya, bersama dengan rekan-rekan seperjuangannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada 3 Juli 1922.

Perguruan ini sangat menekankan pendidikan mengenai pentingnya rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan.
Tidak sedikit aral rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berusaha membatasi dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Namun dengan keteguhan memperjuangkan haknya, akhirnya ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya dalam dunia pendidikan di Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara juga tetap rajin menulis. Tetapi tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Karya tulisannya berjumlah ratusan. Melalui tulisan-tulisan itulah ia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar Dewantara duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Pada eranya, ia termasuk penulis fenomenal. Tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara sangat komunikatif namun juga tajam dan patriotik, sehingga mampu membangkitkan semangat anti-kolonial bagi pembacanya. Selain gigih sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, Ki Hajar Dewantara aktif di seksi propaganda organisasi Boedi Oetomo untuk bersosialisasi dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Kemudian, bersama dengan Dr. Danudirdja Setyabudhi atau yang lebih dikenal Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme di Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia .Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini demi memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Namun pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal Idenburg mencoba menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakan tersebut ialah karena organisasi ini dianggap dapat menumbuhkan dan membangkitkan rasa nasionalisme rakyat serta menggerakkan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Lantas setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij Ki Hajar Dewantara pun ikut membentuk Komite Boemipoetra pada bulan November 1913. Komite ini sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.Komite Boemipoetra melancarkan kritik kepada Pemerintah kolonial Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Kesempatan itu dimanfaatkan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Ki Hajar Dewantara berhasil memperoleh Europeesche Akte.Setelah itu, ia kembali ke Indonesia di tahun 1918. Di tanah air ia memusatkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan menyongsong kemerdekaan

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar Dewantara duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.


Bapak Pendidikan Nasional

Nama Ki Hajar Dewantara sendiri bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, namun juga ditetapkan sebagai pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Penghargaan lain yang diterimanya ialah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan sekaligus dimakamkan di sana. Kemudian untuk mengingat jasanya, pihak penerus perguruan Taman Siswa mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya,Yogyakarta.

Selain dari tujuan awalnya sebagai pengingat jasa Ki Hajar Dewantara, tujuan museum ini untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan beliau. Dalam museum ini juga terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hajar Dewantara sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Koleksi museum ini berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hajar Dewantara sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah diabadikan dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Bangsa ini perlu mewarisi buah gagasannya mengenai tujuan pendidikan, yakni memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, adat, budaya, etnis, suku, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan lain sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang berasas Pancasila.


Ki Hajar Dewantara Sebagai Bapak Pendidikan Nasional

Usai Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) dalam kabinet pertama Republik Indonesia. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, Ki Hajar Dewantara dianugerahi gelar Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Hari kelahiran Ki Hajar Dewantara pada tanggal 2 Mei dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Ki Hajar kemudian meninggal dunia di kota Yogyakarta pada tanggal 26 April 1959. Ia dimakamkan di Taman Wijaya Brata.